Perbedaan
UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
UU Pemerintahan Daerah
merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format
pemerintahan yang bisa memberikan dukungan
terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah
satu upaya menjaga keutuhan NKRI,
struktur pemerintahan harus dirancang sentralistis.
Ide revisi itu berangkat dari kesatuan, sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya sekadar diakomodasi.
Pengalaman waktu penerapan UU No. 5 Tahun 1974, dengan model pemerintahan
yang terpusat dan penyeragaman kebijakan, tertib politik dan pemerintahan bisa terjaga efektif. Warna pemerintahan yang
bercorak otoriterisme-birokratik kemudian menjadi sangat kental. Model
pemerintahan pada waktu itu tidak hanya memosisikan birokrasi pada level paling
atas (pemerintah pusat) sebagai penentu dalam membuat kebijakan, tetapi juga
mampu mengondisikan lembaga perwakilan sebagai lembaga yang terkendali kekuasaan
eksekutif.
UU No. 32 Tahun 2004
mempunyai warna yang mirip walaupun tidak sama persis dengan pola UU No. 5
Tahun 1974. Beberapa pasal yang mengatur karakter pemerintahan yang
sentralistis itu, antara lain sebagai berikut.
1. Pada
Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dipakai adalah pembagian urusan
pemerintahan, bukan lagi kewewenangan daerah sebagaimana dianut UU No. 22 Tahun 1999. Dalam konsep
pembagian urusan, kewewenangan pemerintahan daerah itu tidak otomatis menjadi
milik daerah, tetapi ditentukan pemerintah pusat berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi (Pasal 11). Apa akibat penyerahan
urusan wajib, seluruh atau sebagian besar sumber dananya harus berasal dari
pemerintah pusat. Artinya, akan kembali pada pola subsidi sehingga kreativitas
dalam alokasi anggaran akan dibatasi.
2. Otoritas
kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi, yang
bertanggung jawab kepada presiden (Pasal 37) diperkuat perannya dalam membina
dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ketentuan
pasal ini, walaupun otoritas gubernur itu hanya sebatas pembinaan, pengawasaan,
dan koordinasi, tapi dalam prakteknya bisa lentur ditafsirkan untuk
kepentingan-kepentingan politis yang lain.
3. Ada
keterlibatan peran pemerintah pusat dan gubernur untuk menetapkan perda, dengan
tujuan agar perda secara substantif tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
4. Perencanaan
pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional (Pasal 150). Ketentuan pasal ini berimplikasi perencanaan pembangunan
di daerah harus merujuk kepada perencanaan nasional.
5. Sistem
administrasi kepegawaian disusun secara terpusat (Pasal 129) dan hierarkis
(Pasal 130). Sistem kepegawaian dilakukan berdasarkan manajemen PNS secara
nasional. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, posisi gubernur kembali diperkuat
perannya dalam penentuan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam
jabatan eselon II pada daerah kabupaten/kota walaupun dalam Pasal 130 itu
kewewenangan gubernur sebatas konsultatif. Tapi, ketentuan pasal ini dalam
prakteknya akan subjektif. Esensi
memperkuat posisi gubernur dalam kepegawaian, yaitu tidak ada lagi pembatas
antara kewewenangan jabatan politis dan kewewenangan jabatan karier. Dalam
kedudukannya gubernur sebagai jabatan politis, seharusnya tidak ada lagi
intervensi dalam menentukan jabatan karier di birokrasi karena berdampak
munculnya orientasi pegawai yang condong pada pertimbangan-pertimbangan
subjektivitas gubernur.
Yang membedakan UU No. 32 Tahun
2004 dengan UU No. 5 Tahun 1974 yaitu dilakukannya pilkada langsung (Pasal
56 sampai dengan Pasal 119). Sistem pemilihan kepala daerah berdasarkan
demokrasi perwakilan tidak dianut lagi. Sistem pilkada langsung oleh rakyat
merupakan sebuah prestasi bagi pemerintahan sekarang untuk memberikan hak pada
rakyat secara langsung dalam menentukan kepala daerah.
Sistem pemilihan ini
dianggap paling ideal karena berbagai alasan, yaitu:
a. demokrasi
langsung akan menampakkan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat;
b. akan
dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat;
c. permainan
politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah
jutaan orang. Namun, tidak berarti sistem ini tidak punya kelemahan.
Kelemahan sistem ini,
antara lain (a) kelompok minoritas (suku, agama, atau golongan yang tersisih) akan sulit
bersaing dengan kelompok mayoritas; (b) karena
yang dipilih adalah orang, faktor figur akan dijadikan salah satu faktor
penentu kemenangan. Oleh sebab itu, kemudian akan mengenyampingkan faktor
kemampuan; (c) dalam pilkada langsung memerlukan biaya besar untuk keperluan
kampanye pada putaran pertama dan putaran kedua serta untuk keperluan menyewa
perahu (parpol) khususnya bagi calon dari nonpartai.
Dalam proses pembuatan
kebijakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, juga memberikan ruang bagi masyarakat
dalam pembahasan perda (Pasal 139). Secara demikian, masyarakat diberikan hak
memengaruhi proses pembuatan kebijakan daerah. Jika dicermati secara
keseluruhan tentang UU No. 32 Tahun 2004, proses demokratisasi lokal dibatasi
dalam cakupan yang terbatas pada wilayah prosedur pemilihan pemilihan kepala
daerah dan hak masyarakat memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Namun, pada
aspek yang lain, ada pembatasan-pembatasan terhadap kewewenangan pemerintahan
daerah yang wujudnya dalam bentuk intervensi pemerintah pusat; dalam istilah UU No. 32
Tahun 2004, disebut dengan pembinaan, pengawasan, konsultasi, penyerahan
urusan, dan mengacu program pembangunan nasional.
Secara rinci perbedaan
antara UU No.5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan pada tabel berikut:
Tabel
Perbedaan
UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
No
|
Komponen
|
UU
No. 5 Tahun 1974
|
UU
No. 32 Tahun 2004
|
1.
|
Dasar
Filosofi
|
Keseragaman
|
Keanekaragaman
Dalam Kesatuan
|
2.
|
Susunan
Pemerintahan
|
Pendekatan
Tingkatan Daerah (Level Approach)
|
Pendekatan
Besaran Dan Isi Otonomi (Size And Content Approach)
|
3.
|
Fungi
Utama Pemerintah Daerah
|
Promotor
Pembangunan
|
Pelayan
Masyarakat
|
4.
|
Penyelenggaraan
Pemerintahan Di Daerah
|
Dilaksanakanya
Asas Desentralisasi,Dekonsentrasi,Dan Tugas Pembantuan Secara Seimbang
|
Asas
Desentralisasi,Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Terbatas
|
5.
|
Model
Organisasi
Penyelenggara
Pemerintahan Daerah
|
Model
Efisiensi Structural (Structural
Efficiency
Model)
|
Model
Eklektik,(Perpaduan Antara Structural
Efficiency Model Dengan Local Democracy Model)
|
6.
|
Mekanisme
Transfer
Kewenangan
Pemerintahan Dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah Otono
|
Penyerahan
Urusan
Pemerintahan
Dengan Prinsip Otonomi Yang Nyata
|
Paradigma Pembagian
Urusan
Pemerintahan
|
7.
|
Perimbangan
Keuangan
Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daera
|
Pola
“Fungsi Mengikuti Uang” (Function Follow Money)
|
Kebijakan
Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah
|
8.
|
Sistem
Kepegawaian
|
Sistem
Terintegrasi (Integrated System)
|
Sistem
Campuran (Mixed System)
|
9.
|
Sistem
Pertanggungjawaban
|
Sistem
Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
Bersifat
Vertikal Ke Atas
|
Tergantung
Pada Model Pemilihan Kepala Daerah
|
10.
|
Sistem
Pengelolaan Antar
Asas
Penyelenggaraan Pemerintahan
|
Pengelolaan
Keuangan Antar Asas Dijadikan Satu Dalam APB
|
Pengelolaan
Keuangan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah
Dipisahkan
|
11.
|
Kedudukan
Kecamatan
|
Kecamatan
Adalah Pelaksana Asas
Dekonsentrasi,
Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Kepala Wilayah
|
Kecamatan
Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan
Camat
Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi
|
Bagus sekali postingnya, sangat membantu. Terima kasih
BalasHapus