Kamis, 26 April 2012

Perbedaan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004


Perbedaan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

UU Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan yang bisa memberikan dukungan  terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu  upaya menjaga keutuhan NKRI, struktur pemerintahan harus dirancang  sentralistis. Ide revisi itu berangkat dari kesatuan, sedangkan kemajemukan  masyarakat daerah hanya sekadar diakomodasi.
      Pengalaman waktu penerapan UU No. 5 Tahun 1974, dengan model pemerintahan yang terpusat dan penyeragaman kebijakan, tertib politik dan pemerintahan bisa  terjaga efektif. Warna pemerintahan yang bercorak otoriterisme-birokratik kemudian menjadi sangat kental. Model pemerintahan pada waktu itu tidak hanya memosisikan birokrasi pada level paling atas (pemerintah pusat) sebagai penentu dalam membuat kebijakan, tetapi juga mampu mengondisikan lembaga perwakilan sebagai lembaga yang terkendali kekuasaan eksekutif.
UU No. 32 Tahun 2004 mempunyai warna yang mirip walaupun tidak sama persis dengan pola UU No. 5 Tahun 1974. Beberapa pasal yang mengatur karakter pemerintahan yang sentralistis itu, antara lain sebagai berikut.
1.      Pada Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004, istilah yang dipakai adalah pembagian urusan pemerintahan, bukan lagi kewewenangan daerah sebagaimana  dianut UU No. 22 Tahun 1999. Dalam konsep pembagian urusan, kewewenangan pemerintahan daerah itu tidak otomatis menjadi milik daerah, tetapi ditentukan pemerintah pusat berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi (Pasal 11). Apa akibat penyerahan urusan wajib, seluruh atau sebagian besar sumber dananya harus berasal dari pemerintah pusat. Artinya, akan kembali pada pola subsidi sehingga kreativitas dalam alokasi anggaran akan dibatasi.
2.      Otoritas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi, yang bertanggung jawab kepada presiden (Pasal 37) diperkuat perannya dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ketentuan pasal ini, walaupun otoritas gubernur itu hanya sebatas pembinaan, pengawasaan, dan koordinasi, tapi dalam prakteknya bisa lentur ditafsirkan untuk kepentingan-kepentingan politis yang lain.
3.      Ada keterlibatan peran pemerintah pusat dan gubernur untuk menetapkan perda, dengan tujuan agar perda secara substantif tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.      Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional (Pasal 150). Ketentuan pasal ini berimplikasi perencanaan pembangunan di daerah harus merujuk kepada perencanaan nasional.
5.      Sistem administrasi kepegawaian disusun secara terpusat (Pasal 129) dan hierarkis (Pasal 130). Sistem kepegawaian dilakukan berdasarkan manajemen PNS secara nasional. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, posisi gubernur kembali diperkuat perannya dalam penentuan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan eselon II pada daerah kabupaten/kota walaupun dalam Pasal 130 itu kewewenangan gubernur sebatas konsultatif. Tapi, ketentuan pasal ini dalam prakteknya akan subjektif.  Esensi memperkuat posisi gubernur dalam kepegawaian, yaitu tidak ada lagi pembatas antara kewewenangan jabatan politis dan kewewenangan jabatan karier. Dalam kedudukannya gubernur sebagai jabatan politis, seharusnya tidak ada lagi intervensi dalam menentukan jabatan karier di birokrasi karena berdampak munculnya orientasi pegawai yang condong pada pertimbangan-pertimbangan subjektivitas gubernur.

      Yang membedakan UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 5 Tahun 1974 yaitu dilakukannya pilkada langsung (Pasal 56 sampai dengan Pasal 119). Sistem pemilihan kepala daerah berdasarkan demokrasi perwakilan tidak dianut lagi. Sistem pilkada langsung oleh rakyat merupakan sebuah prestasi bagi pemerintahan sekarang untuk memberikan hak pada rakyat secara langsung dalam menentukan kepala daerah.
Sistem pemilihan ini dianggap paling ideal karena berbagai alasan, yaitu:
a.       demokrasi langsung akan menampakkan perwujudan kedaulatan di tangan rakyat;
b.      akan dihasilkan kepala daerah yang mendapat dukungan langsung dari rakyat;
c.       permainan politik uang bisa diperkecil karena tidak mungkin menyuap pemilih dalam jumlah jutaan orang. Namun, tidak berarti sistem ini tidak punya kelemahan.
Kelemahan sistem ini, antara lain (a) kelompok minoritas (suku, agama,  atau golongan yang tersisih) akan sulit bersaing dengan kelompok mayoritas; (b)  karena yang dipilih adalah orang, faktor figur akan dijadikan salah satu faktor penentu kemenangan. Oleh sebab itu, kemudian akan mengenyampingkan faktor kemampuan; (c) dalam pilkada langsung memerlukan biaya besar untuk keperluan kampanye pada putaran pertama dan putaran kedua serta untuk keperluan menyewa perahu (parpol) khususnya bagi calon dari nonpartai.
Dalam proses pembuatan kebijakan dalam UU No. 32 Tahun 2004, juga memberikan ruang bagi masyarakat dalam pembahasan perda (Pasal 139). Secara demikian, masyarakat diberikan hak memengaruhi proses pembuatan kebijakan daerah. Jika dicermati secara keseluruhan tentang UU No. 32 Tahun 2004, proses demokratisasi lokal dibatasi dalam cakupan yang terbatas pada wilayah prosedur pemilihan pemilihan kepala daerah dan hak masyarakat memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Namun, pada aspek yang lain, ada pembatasan-pembatasan terhadap kewewenangan pemerintahan daerah yang wujudnya dalam bentuk intervensi  pemerintah pusat; dalam istilah UU No. 32 Tahun 2004, disebut dengan pembinaan, pengawasan, konsultasi, penyerahan urusan, dan mengacu program pembangunan nasional.
Secara rinci perbedaan antara UU No.5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan pada tabel berikut:


Tabel
Perbedaan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

No
Komponen
UU No. 5 Tahun 1974
UU No. 32 Tahun 2004
1.
Dasar Filosofi
Keseragaman
Keanekaragaman Dalam Kesatuan
2.
Susunan Pemerintahan
Pendekatan Tingkatan Daerah (Level Approach)
Pendekatan Besaran Dan Isi Otonomi (Size And Content Approach)
3.
Fungi Utama Pemerintah Daerah
Promotor Pembangunan
Pelayan Masyarakat
4.
Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah
Dilaksanakanya Asas Desentralisasi,Dekonsentrasi,Dan Tugas Pembantuan Secara Seimbang
Asas Desentralisasi,Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Terbatas
5.
Model Organisasi
Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Model Efisiensi Structural (Structural
Efficiency Model)
Model Eklektik,(Perpaduan Antara  Structural Efficiency  Model Dengan  Local Democracy Model)
6.
Mekanisme Transfer
Kewenangan Pemerintahan Dari Pemerintah Pusat Kepada Daerah Otono
Penyerahan Urusan
Pemerintahan Dengan Prinsip Otonomi Yang Nyata
Paradigma  Pembagian
Urusan Pemerintahan
7.
Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintahan Daera
Pola “Fungsi Mengikuti Uang” (Function Follow Money)
Kebijakan Perimbangan Keuangan Yang Lebih Adil Bagi Daerah
8.
Sistem Kepegawaian
Sistem Terintegrasi (Integrated System)
Sistem Campuran (Mixed System)
9.
Sistem Pertanggungjawaban
Sistem Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah
Bersifat Vertikal Ke Atas
Tergantung Pada Model Pemilihan Kepala Daerah
10.
Sistem Pengelolaan Antar
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pengelolaan Keuangan Antar Asas Dijadikan Satu Dalam APB
Pengelolaan Keuangan Antar Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah
Dipisahkan
11.
Kedudukan Kecamatan
Kecamatan Adalah Pelaksana Asas
Dekonsentrasi, Sedangkan Camat Berkedudukan Sebagai Kepala Wilayah
Kecamatan Dijadikan Lingkungan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Sedangkan
Camat Berkedudukan Sebagai Pimpinan SKPD Yang Menjalankan Asas Desentralisasi

1 komentar: